PALU, inakor.id – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, di bawah pimpinan Kepala Kejaksaan Tinggi, Dr. Bambang Hariyanto, didampingi oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, Zullikar Tanjung, SH. MH, kembali melaksanakan ekspose penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Ekspose kali ini dilakukan melalui Kejaksaan Negeri Donggala dengan melibatkan tiga tersangka: Didit alias Didi, yang melanggar Pasal 362 KUHPidana, Saiful Rizal alias Ipul, dan Herman bin Ladama yang keduanya melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHPidana. Korban dalam kasus ini adalah Rini Darmastuti.
Proses ekspose ini dilaksanakan secara virtual dengan dihadiri oleh Direktur Oharda dan tim dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung RI. Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Senin, (23/9/2024).
Acara ini turut diikuti oleh Aspidum Kejati Sulteng Fithrah, SH, MH, Kasi Oharda Agus, SH, MH, dan Kasi Penkum Laode Abdul Sofian, SH, MH, serta jajaran lainnya.
Kasus bermula ketika tersangka Didit melihat pintu rumah korban Rini Darmastuti terbuka sedikit. Tersangka kemudian memasuki rumah tersebut dan mencuri satu buah handphone dan satu buah laptop. Setelah itu, tersangka menjual handphone curiannya kepada tersangka Herman dan menggadaikan laptop kepada Saiful Rizal alias Ipul. Didit mengaku kepada kedua rekannya bahwa ia membutuhkan uang untuk membeli makanan guna menghidupi keluarganya.
Kasus ini dianggap sebagai kasus yang saling terkait, di mana tindakan pencurian dilakukan oleh Didit karena desakan ekonomi. Sementara itu, Herman dan Saiful Rizal, yang menerima barang curian, merasa empati terhadap kondisi Didit dan tidak mengetahui bahwa barang tersebut merupakan hasil kejahatan.
Pertimbangan utama penghentian penuntutan ini adalah kesediaan korban, Rini Darmastuti, untuk memaafkan para pelaku. Kesepakatan damai antara korban dan para tersangka, serta kesanggupan para pelaku untuk tidak mengulangi perbuatan mereka, menjadi faktor kunci dalam proses penghentian penuntutan ini.
Penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif ini merupakan bagian dari upaya Kejaksaan Agung untuk mewujudkan keadilan substantif, di mana penyelesaian perkara tidak selalu harus melalui persidangan di pengadilan. Penyelesaian damai antara para pihak dianggap cukup memadai untuk menegakkan keadilan.
Selain itu, penghentian penuntutan ini juga telah memenuhi semua syarat yang ditetapkan dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan RI nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Surat Edaran Jampidum nomor 01/E/EJP/02/2022.
Dengan penghentian penuntutan ini, hubungan yang harmonis antara korban dan pelaku diharapkan dapat terjalin kembali, serta menjadi contoh bagi penyelesaian perkara lain melalui pendekatan keadilan restoratif. (Jamal)