MAKASSAR,INAKOR,id – 31 Januari 2025–Pelanggaran kode etik internal Polri yang tertuang dalam Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri , tetapi juga berpotensi menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku.
TR semakin tegas dalam perjuangannya menuntut keadilan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh IPDA MYY, anggota kepolisian yang bertugas di Polrestabes Makassar, saat dikonfirmasi oleh awak media (31/1/25).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia , khususnya Pasal 5 ayat
(1) , aparat kepolisian berkewajiban menjaga integritas dan profesionalisme dalam setiap aspek yang diterapkan, termasuk dalam hal pernikahan. Praktik pernikahan siri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selain itu, dugaan penentaran anak yang terjadi juga bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak , khususnya Pasal 76 , yang mengamanatkan setiap orang tua untuk memberikan perawatan, perlindungan, dan penyediaan hak-hak dasar anak. Kegagalan dalam memenuhi kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi pidana.
Setelah sebelumnya kasus ini telah dilimpahkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Sulawesi Selatan.
TR menegaskan bahwa dirinya akan melaporkan kasus ini ke Kapolri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), serta Komnas Perempuan dan Anak.
Surat tersebut merujuk pada laporan hasil penyelidikan nomor LHP/91/XI/2024/Paminal tertanggal 5 November 2024, terkait dugaan pelanggaran penelantaran anak oleh seorang anggota polisi berpangkat IPDA dengan inisial YY, yang menjabat sebagai Kasubnit 1 Unit 6 Sat. Intelkam Polrestabes Makassar.
Sementara itu, anak dari hasil pernikahan sirinya dengan YY yang sempat dirawat di ruang NICU/ICCU RS Bhayangkara Makassar dalam kondisi kritis akibat gangguan ginjal. pada kamis, 30 Januari 2025, dokter yang menangani anaknya memutuskan untuk memperbolehkannya pulang dan melanjutkan pengobatan secara rawat jalan.
Keputusan ini disayangkan oleh Tanty, karena menurutnya kondisi anaknya masih belum stabil. “Kaki anak saya masih bengkak, tapi dokter sudah menyuruh pulang. Saya khawatir kondisinya memburuk jika tidak mendapatkan perawatan yang maksimal,” ujarnya.
Ia juga merasa heran dengan pernyataan dokter, yang menyebut bahwa semakin lama anaknya dirawat, semakin besar biaya yang harus dibayar. “Padahal anak saya masuk sebagai pasien umum, bukan pasien tanggungan rumah sakit atau pemerintah,” jelasnya.
TR mengungkapkan bahwa dirinya dan anaknya akhirnya bisa keluar dari rumah sakit setelah mendapat pinjaman untuk melunasi biaya perawatan. “Tanpa bantuan mereka, saya tidak tahu bagaimana harus membayar biaya rumah sakit yang cukup besar,” ungkapnya.
TR juga menegaskan bahwa setelah memenuhi panggilan pemeriksaan di Propam Polda Sulawesi Selatan dalam waktu dekat, dirinya akan segera melaporkan kasus ini ke Kapolri, Kompolnas, serta Komnas Perempuan dan Anak.
“Kita tunggu dulu perkembangan hasil pemeriksaan di Polda Sulsel nantinya. Saya berharap kawan-kawan media dapat mengawal kasus ini sampai tuntas, karena saya hanya seorang perempuan sekaligus ibu yang berjuang sendirian untuk kepentingan anak saya. Harapan saya hanya satu, yaitu untuk kepentingan anak saya,”ujar TR dengan tegas.
Ia menyampaikwn sebuah pesan dalam perjuangannya ini. “Mantan istri itu ada, tetapi mantan anak itu tidak ada.”, Seragam MYY itu adalah Abdi untuk masyarakat sedangkan Abdi untuk anak tidak bisa malahan anak sendiru tak diakui.
Menanggapi kasus ini, Jupri, seorang pengamat sosial masyarakat, menilai bahwa kejadian ini seharusnya menjadi evaluasi serius bagi institusi kepolisian dalam hal etika dan tanggung jawab sosial kontrol bagi anggotanya.
“Kasus ini bukan hanya persoalan rumah tangga, tetapi juga menyangkut integritas seorang aparat negara yang seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Jika benar ada unsur penelantaran anak dari hasil pernikahan siri, maka ini bisa mencoreng nama baik kepolisian,” ujar Jupri.
Ia juga menyoroti perlunya transparansi dan ketegasan dalam penegakan kode etik bagi anggota Polri. “Institusi kepolisian harus membuktikan bahwa mereka tidak tebang pilih dalam menegakkan aturan. Jika memang ada pelanggaran, harus ada sanksi tegas agar kejadian serupa tidak terulang,” tambahnya.
Selain itu, Jupri mengapresiasi langkah Tanty yang berani membawa kasus ini ke tingkat nasional. “Perjuangan seorang ibu seperti Tanty harus mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pihak berwenang. Kasus ini tidak hanya soal hukum, tetapi juga soal keadilan bagi anak yang seharusnya mendapatkan haknya secara layak,”tegasnya. (JP/R35)