PALU, Inakor.id – Alasan sedang berada di luar negeri, Presiden Direktur PT. Astra Agro Lestari Indonesia (Presdir PT. AALI), Santoso, mangkir dari pemeriksaan Tim Penyidik Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, hari ini Rabu (11/12/2024). Santoso sendiri, pekan lalu dijadwalkan untuk didengar keterangannya terkait proses penyidikan atas dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diduga dilakukan manajemen PT. Rimbunan Alam Sentosa, salah satu anak perusahaan PT. AALI.
Mangkirnya orang nomor satu pada perusahaan perkebunan sawit yang go public sejak tahun tahun 1997, pada Bursa Efek Indonesia itu, menurut informasi yang diperoleh Inakor.id, Rabu (11/12/2024) di Palu, diketahui berdasarkan konfirmasi yang disampaikan oknum presdir itu kepada tim penyidik melalui kuasa hukumnya. Dalam nota konfirmasi tersebut, hanya disebutkan bahwa Santoso tidak dapat menghadiri jadwal pemeriksaan pada hari ini (Rabu, 11/12/2024), karena sedang berada di luar negeri. Surat itu pun, tidak meminta waktu kepada tim penyidik untuk penjadwalan kembali.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum), Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Laode Abdul Sofian, S.H., M.H., kepada Inakor.id di Palu, juga membenarkan ketidakhadiran Presdir PT. AALI, Santoso, dalam memenuhi panggilan tim penyidik untuk didengar keterangannya sebagai saksi. Menurut Sofian, mangkirnya pengusaha perkebunan sawit tersebut, karena alasan sedang bertugas ke luar negeri.
Prediksi atas ketidakhadiran Santoso, menurut sumber itu, sesungguhnya sudah ditebak sebelum tanggal pemeriksaan, karena sejauh ini, belum ada pejabat dari koorporasi itu, baik dari PT. AALI, maupun PT. RAS sendiri yang langsung merespons panggilan penyidik pada kesempatan pertama, dan selamanya harus tertunda dengan berbagai alasan, “sikap itu terkesan tidak koperatifnya mereka dalam menghadapi persoalan hukum yang sedang dihadapinya yang diduga berpotensi menimbulkan kerugian negara untuk satu item perbuatan saja berkisar IDR 79 miliar lebih”, ujarnya.
Meski telah memeriksa sejumlah pihak, baik dari PT. RAS, PT. AALI, dan PT. Perkebunan Nasional (PTPN) XIV, namun sejauh ini, tim penyidik belum berhasil menetapkan tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh korporasi ini. Lamban dan alotnya proses penyidikan, menurut sejumlah pihak, diduga terkait dengan latarbelakang perusahaan yang merupakan korporasi besar dengan “bekingan kuat”, baik dilingkungan birokrasi maupun dilingkungan aparat penegak hukum sendiri.
Hanya saja, tambah sumber itu, dengan penetapan status perkara dalam tahap penyidikan, tentu pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah, yang dinakhodai, Dr. Bambang Hariyanto, S.H., M.H., sudah sangat yakin perkara ini akan berujung ke Pengadilan Tipikor, “tentu Pak Kajati sudah memiliki kalkulasi matang, sehingga perkara ini ditingkatkan dalam tahap penyidikan, dan semua itu saya yakin pula, jika pihak Kajati Sulteng tentu sudah melakukan konsultasi dan koordinasi dengan atasannya, sebelum mematangkan penanganan perkara ini, ”ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Inakor.id, perkara yang sedang menyita perhatian publik di Sulawesi Tengah ini, dudga bermula dari tindakan pencaplokan lokasi Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV oleh PT RAS, salah satu anak perusahaan PT. AALI yang bergerak dibidang perkebunan sawit di Desa Era, Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah.
Atas tindakan manajemen PT RAS itu, setidaknya diduga terdapat lima item kejahatan yang dilakukan, masing-masing dugaan perkara pencaplokan dan penggunaan lahan HGU PTPN XIV yang telah digunakan PT. RAS sejak tahun 2009 hingga 2023 dengan tidak membayar sewa lahan yang diduga menimbulkan kerugian berkisar IDR 79.480.824.648. Nilai sebanyak itu, didasarkan pada perhitungan dengan metode adjusted market value terhadap Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Selanjutnya, perkara kedua yang diduga dilakukan perusahaan itu, adalah musnahnya 35.000 pohon sawit milik PTPN XIV dengan nilai investasi berkisar IDR 12.285.000.000., Perkara ketiga adalah memasuki kawasan hutan tanpa izin. Akibat tindakan korporasi itu menimbulkan potensi kerugian negara yang tidak dibayarkan berupa pembayaran dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, denda pelanggaran ekspoitasi hutan, dan penggunaan kawasan hutan secara illegal. Perkara keempat adalah tindakan perusahaan itu menyebabkan pula terjadinya perusakan lingkungan dengan modus alih fungsi hutan secara illegal, dan pelanggaran kelima, perusahaan itu tidak membentuk plasma kebun sawit yang merupakan salah satu syarat dan kewajiban atas pembukaan perkebunan sawit oleh perusahaan perkebunan besar.
Tindakan dan perbuatan yang diduga melanggar hukum itu, menurut sumber Inakor.id, terjadi karena pengendalian manajemen PT. RAS oleh PT. AALI dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Sumber itu meyakini, kendali induk perusahaan kepada anak perusahaan bukanlah “isapan jempol” belaka, karena berdasarkan kesaksian Dony Yoga dan Daniel, masing-masing sebagai direktur dan manajer keuangan, tambah sumber itu, setiap penjualan hasil produksi PT. RAS, berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO), sepenuhnya dibawah kendali komersial PT. AALI, meski kontrak penjualan, transaksi pembayaran tetap menggunakan rekening PT. RAS, akan tetapi segera sesudah itu, seluruh keuntungan yang diperoleh dari transaksi produk tersebut, segera dipindahkan dan ditempatkan pada rekening PT. AALI.
Terhadap informasi yang diungkapkan sumber itu, benar adanya, menurut Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Dr. Johnny Salam, S.H., M.H. kepada Inakor.id di Palu beberapa waktu lalu, maka perbuatan tersebut, diduga telah memenuhi unsur dan anasir-anasir TPPU (money laundering), khususnya ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 2 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, sehingga tidak salahlah, jika tim penyidik kejaksaan, lanjut Johnny, selain melakukan penyidikan atas dugaan perkara tindak pidana korupsi, juga mengaitkan perbuatan itu dengan TPPU, “saya optimis, perkara ini bisa diungkap seterang-terangnya oleh para penyidik, karena perkaranya sendiri, sesungguhnya sangat sederhana, yakni menemukan dan mengungkap pertalian tentang adanya dugaan hasil korupsi yang merupakan dirty money yang kemudian dilakukan pencucian melalui bisnis-bisnis perusahaan induk dalam holding company itu, ”ujarnya. (Jamal/Tim)