Kenapa Rokok Ilegal di Aceh Tenggara Tidak Bisa Diberantas???

Aceh170 Views

ACEH, inakor.id — Korupsi dan rokok ilegal mungkin sepadan disebut momok kebudayaan yang tidak bisa diberantas. Pasalnya, praktik koruptif dari zaman pra Indonesia Merdeka juga sudah ada. Rokok pun demikian, bahkan bagian dari kebutuhan layaknya nasi, demikian dikatakan Yusuf M Teben, Koordinator Bidang Penindakan dan Gratifikasi pada Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia (LPRI) Aceh kepada Inakor.id, Sabtu (9/3/2024) melalui sambungan telpon seluler.

Lebih lanjut dikatakan, saya kasih ilustrasi dari ekosistem laut yang kompleks. Dimana paus sebagai raksasa laut bergantung hidup dari udang krill. Populasi udang mini ini adalah sumber makanan utama mereka.

banner 336x280

Posisi krill sangat krusial bagi keseimbangan laut. Dalam sehari, seekor paus bisa mengonsumsi 16 metrik ton krill, yang setara dengan 17.6 ton. Ironisnya, jumlah krill cenderung menurun, ini bukan melulu akibat aktivitas penangkapan krill manusia. Sebaliknya, salah satu penyebab utama penurunan populasi krill adalah berkurangnya jumlah paus.

Kita sebagai manusia memiliki peran signifikan dalam menyebabkan penurunan jumlah paus, baik melalui perburuan liar, pencemaran laut, dan faktor lainnya. Sekilas, mungkin terlihat aneh bahwa ketika pemangsa alami krill, yaitu paus, berkurang, mengapa jumlah krill justru menurun?

Di dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2022 Tentang Pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2023, Kabupaten Aceh Tenggara mendapatkan Rp 297.807.000,00. Walaupun ada alokasi dana, tapi tidak ada dipergunakan untuk upaya pemberantasan rokok ilegal. Karena diduga ada praktik koruptif yang dimainkan oleh oknum. Hal itu bisa diketahui dengan semakin marak dan bebasnya peredaran rokok ilegal hingga ke pelosok-pelosok desa di Kabupaten Aceh Tenggara, jelas Yusuf M Teben.

Nah, kembali ke fenomena dalam ekosistem laut yang dikenal sebagai “paradoks krill.” Setelah paus mengonsumsi krill, mereka membuang sisa-sisa dalam bentuk berupa kotoran alias produk buang hajat. Di wilayah ini, rokok ilegal dan budaya korupsi punya andil menstimuli ekonomi pertembakauan. Bagaimana tidak, bahan baku rokok yang tidak terserap pabrik, selain diecer untuk tingwe mau dikemanakan? Itu.

Seturut ilustrasi itu, pup paus ini mengandung nutrisi yang penting, dan nutrisi ini kemudian menjadi makanan bagi fitoplankton, mikroorganisme fotosintetik kecil. Keberadaan fitoplankton dalam rantai makanan laut sangat vital. Namun, ada satu lagi twist menarik: siapa yang memangsa fitoplankton? Jawabannya adalah krill. Gambaran ini sebangun dengan persoalan di dalam industri kebudayaan.

Katakanlah, rokok ilegal tuntas diberantas, alokasi penindakan dalam skema penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tentu tidak lagi diperlukan. Mengingat lagi, cukai menjadi instrumen fiskal penting untuk menambal kebocoran fiskal negara, di situ kuncinya. Termasuk rasionalisasi kinerja perangkat daerah di dalam mekanismenya.

Dengan kata lain, krill tidak hanya menjadi santapan utama paus, tetapi mereka juga menjadi konsumen dari fitoplankton yang pertumbuhannya dihasilkan dari kotoran paus. Oleh karena itu, keterkaitan antara paus, fitoplankton, dan krill membentuk lingkaran yang rumit. Kompleksitas ini terjadi pada persoalan pemberantasan korupsi. Pula pemberantasan rokok non cukai.

Dalam ekosistem ini, paus dan krill saling mempengaruhi kelangsungan hidup satu sama lain. Dinamika dari mata rantai makanan di laut ini merupakan ilustrasi dari dua momok yang saya awali di paragraf pertama. Korupsi dan rokok ilegal setara dengan fenomena krill paradox, ketus Yusuf M Teben.

Kabupaten Aceh Tenggara seumpama laut selalu terikat pada arus (global), lalu ekosistem kebudayaan di dalamnya bagaimana? Jelas butuh keseimbangan, regulasi. Bukan stigmatisasi.

Walaupun Kabupaten Aceh Tenggara mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, tapi dana itu tidak pernah dipergunakan untuk pemberantasan rokok ilegal dan kuat dugaan bahwa ada oknum-oknum yang mendapat keuntungan dari maraknya peredaran rokok ilegal ini, itu sebabnya rokok ilegal tidak bisa diberantas di Kabupaten Aceh Tenggara. Padahal ada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Bumi Sepakat Segenep itu, kata Koordinator Bidang Penindakan dan Gratifikasi LPRI Aceh itu mengakhiri.[Amri Sinulingga]

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *