Suara Pemuda Bukan Hanya Diperhitungkan Jumlahnya, Aspirasinya Juga Perlu Didengar

Pangandaran, inakor.id – Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) pada tahun 2024. Pemilu tersebut diprediksi akan menjadi yang terbesar di dunia pada tahun 2024.

Hal yang menarik adalah sebagian besar dari komposisi pemilih aktif dalam pemilu kali ini diisi oleh generasi milenial di mana hal tersebut merupakan momentum pertama sepanjang sejarah pesta demokrasi di Indonesia.

banner 336x280

Tian Kadarisman, Ketua Konfederasi Pelajar Mahasiswa Brigez Kabupaten Pangandaran mengatakan, generasi muda yang menjadi pemilih aktif berjumlah 114 juta orang dan terbagi menjadi dua, yaitu 68 juta orang lahir pada awal tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, sedangkan 46 juta orang lainnya lahir pada pertengahan tahun 1990-an hingga tahun 2007 (generasi Z).

“Oleh sebab itu, para calon peserta pemilu dan partai politik pendukungnya memanfaatkan media sosial untuk menggaet suara kaum muda. Di sisi lain, anak muda Indonesia dikenal apatis terhadap politik dalam negeri, tetapi pilihan politik mereka tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain,” katanya kepada inakor.id, Senin (05/02/2024).

Pentingnya Suara Anak Muda Generasi milenial berjumlah 56% dari total pemilih aktif dalam pemilu mendatang. Selain itu, generasi muda memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat dan memperjuangkan pendapat pribadinya mengenai suatu hal melalui media sosial.

“Hal-hal yang paling sering didiskusikan oleh kaum muda belakangan ini adalah para pasangan calon presiden dan wakil presiden, hak asasi manusia (HAM) seiring dengan meletusnya perang antara Israel dan Palestina, masalah lingkungan, dan sebagainya,” jelas Tian

Oleh karena itu, apabila mayoritas anak muda memilih satu pasang calon tertentu, kemungkinan besar masyarakat juga akan beralih memilih pasangan calon tersebut.

“Lalu, pemuda adalah tonggak kelanjutan negara karena pemuda adalah subjek pemerintahan di negara demokrasi, bukan objek pemerintahan seperti di negara monarki dan negara komunis. Oleh sebab itu, semakin tinggi partisipasi generasi milenial dalam aktivitas politik, semakin tinggi pula kualitas demokrasi suatu negara,” papar Tian

Potensi Penyalahgunaan dan Salah Guna Hak Pilih

Lebih lanjut Tian mengatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kampanye di sekolah dan perguruan tinggi memperbolehkan calon peserta pemilu untuk melakukan kampanye di institusi pendidikan, tetapi tanpa atribut politik dan harus mengantongi izin dari sekolah atau perguruan tinggi tersebut.

“Hal ini semakin mempermudah para calon untuk meraih suara pemilih pemula. Akan tetapi, beberapa pengamat pendidikan menyesali peraturan tersebut karena lembaga pendidikan dapat berubah menjadi Tempat Kampanye’ secara perlahan-lahan,” terangnya

Tenaga pendidik pun dapat terpancing untuk menunjukkan dukungannya terhadap calon tertentu saat kegiatan pembelajaran, sedangkan seharusnya dukungan terhadap para calon hanya disampaikan di bilik suara. Kemudian, potensi penyalahgunaan hak pilih para pemuda dapat meningkat. Sebab, para pemuda bisa mengubah pilihannya dengan mudah setelah mendengarkan sebuah pidato maupun kuliah umum dari para calon peserta pemilu.

“Padahal banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mantap memilih seseorang untuk menjadi pemimpin berikutnya,” Ucap Tian

Selain itu, generasi milenial harus waspada terhadap bias berita yang beredar secara luas di luar sana karena beberapa stasiun televisi dan media massa cenderung lebih banyak menyampaikan informasi mengenai calon tertentu.

“Bila generasi muda tidak cermat dalam menyimak berita yang diperoleh, tanpa sadar hal ini memberikan kesempatan kepada para calon untuk mempengaruhi pilihan kaum muda. Di sisi lain, ‘Asal Pilih’ juga bisa terjadi karena rendahnya minat anak muda untuk terlibat dalam aktivitas politik sehingga pilihan politik mereka hanya mengikuti pilihan orang-orang di sekitarnya,” tegas Tian

Tidak jarang para pemuda memilih seorang calon dengan alasan kedua orang tuanya juga memilih calon tersebut. Bahkan ada yang sekadar mengikuti temannya.

“Jika 1 dari 10 anak muda bersikap seperti itu, tentu saja pemimpin yang terpilih nantinya bukan benar-benar pilihan hati rakyat dan mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ucap Tian

Strategi Bagi Pemilih Pemula

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pemilih pemula di antaranya adalah memastikan bahwa dirinya sudah terdaftar sebagai pemilih tetap. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengunjungi laman daftar pemilih tetap (DPT) yang telah dirilis oleh KPU atau mengunjungi kelurahan tempat tinggal asal.

“Apabila belum terdaftar, calon pemilih perlu melaporkan diri ke KPU agar namanya dimasukkan ke dalam daftar pemilih hasil perbaikan (DPTHP). Kedua, pemilih pemula harus mencari tahu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih menjelang hari pemungutan suara, yaitu memiliki KTP elektronik (e-KTP), bukan anggota TNI maupun Polri, hak pilihnya sedang tidak dicabut, tidak memiliki gangguan jiwa, dan lain-lain. Ketiga, pemilih pemula disarankan untuk memperbaharui informasi mengenai pemilu secara rutin. Informasi tersebut dapat diperoleh pada seluruh akun media sosial resmi milik KPU, seperti Facebook, Twitter, Instagram, ataupun YouTube,” ujar Tian

Sangat baik apabila pemilih pemula aktif menggali rekam jejak para calon peserta pemilu dan pilkada. Apalagi hal tersebut bisa dilakukan dengan sangat mudah di zaman sekarang karena kehadiran internet.

“Umumnya, para calon mengunggah foto atau video yang berisi visi dan misi, serta program mereka melalui postingan di akun media sosial pribadi dan tim pemenangannya,” jelas Tian

Pemilih pemula juga dapat menyaksikan debat antar calon peserta pemilu yang disiarkan secara langsung, baik yang diadakan oleh KPU, maupun institusi lainnya.

“Terakhir, jangan golongan putih (golput). Istilah golput sendiri berasal dari Bahasa Inggris, yaitu abstain. Secara sederhana, golput adalah sikap politik untuk tidak memilih atau mencoblos siapa pun pada saat pemilu. Sebagai warga negara yang taat kepada pemerintah dan sadar betapa berharganya suara yang dimiliki, sudah seharusnya kita tidak golput dan mengajak orang lain untuk tidak golput juga,” tegas Tian

Suara anak muda bukan hanya jumlah yang perlu diperhitungkan oleh para calon, tetapi aspirasinya juga perlu didengar dan disalurkan melalui program-program yang akan dilaksanakan jika terpilih nanti. ‘Marketing Politik’-nya pun harus diubah menjadi ramah terhadap generasi milenial.

“Sebab, generasi muda tidak lagi tertarik dengan jargon-jargon yang mengatakan bahwa calon tersebut anti korupsi dan akan menyejahterakan rakyat,” tandas Tian

Tian menambahkan, saat ini kaum muda jauh lebih cerdas dengan menilai para calon dari karier politiknya. Oleh karena itu, rekam jejak sangat krusial bagi para calon.

“Namun, idealisme yang dimiliki oleh anak muda, khususnya pemilih pemula jangan sampai membuat diri sendiri,” pungkasnya (Agit Warganet)

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *